kip

kip

Sabtu, 31 Mei 2014

CAPTAIN AMERICA : THE WINTER SOLDIER
3GP , MKV
captain-america-2-the-wi.jpg
  1. Title: Captain America: The Winter Soldier (DVDScr)
  2. Release Date: 4 April 2014
  3. Genre: Action | Adventure | Sci-Fi
  1. Runtime: 136 Min
  2. Director: Anthony Russo, Joe Russo, Joss Whedon
  1. Cast & Crew: Chris Evans, Frank Grillo, Sebastian Stan
  2. Plot: Steve Rogers struggles to embrace his role in the modern world and battles a new threat from old history: the Soviet agent known as the Winter Soldier.
  1. Download File: New DVDScr MP4 Part 1
  2. Download File: New DVDScr MP4 Part 2
  1. Subtitle: Indonesia
  1. MP4 Size: 314 MB
  1. Download File: New DVDScr 3GP Part 1
  2. Download File: New DVDScr 3GP Part 2
  1. 3GP Size: 201 MB
Dengan tewasnya adipati karna, kurawa mengangkat resi durna menjadi senopati kurawa yang disampaikan oleh kartamarma.
Kartomarmo mulai menyampaikan kabar yang dibawanya…
“Sinuwun mohon maaf, hari ini seperti yang Paman Sangkuni perintahkan hamba mendampingi Sang Senopati Agung Bapa Begawan Druna maju ke medan laga Baratayudha….”.

Dengan gaya dan cengkok suara yang khas, Sengkuni menyela
“Iya, kowe paman kasih pekerjaan enteng Kartomarmo, mendampingi Senopati Agung yang jelas tidak terkalahkan…”
“Inggih Paman…”
“Kartomarmo, teruskan ceritamu adikku”, perintah Prabu Duryudono
“Terlaksana Bapa Druna maju sebagai senopati perang Astina. Pandawa menggunakan konfigurasi pasukan berupa bulan sabit, Permadi di sisi kiri, Bratasena di sisi kanan. Keduanya sebagai ujung konfigurasi bulan sabit itu. Bapa Druna menggunakan konfigurasi Bangau Terbang, dengan pucuk perang Bapa Druna sendiri. Terbukti gunjingan dunia bahwa Bapa Druna tanpa tanding. Tanpa waktu lama barusan pasukan bulan sabit pandawa diterjang, diterabas seolah tanpa perlawan. Konfigurasi pasukan wulan tinanggal itu kocar – kacir, morat marit terkena badai panah dan lautan api dari Sang Pandita Sukalima itu”.
Sangkuni “He..he…he…, ya sudah paman perkirakan kok ngger. Kalau Bapa Druna bertindak lama mijit buah ranti, dalam sekejap Pandawa akan takluk..terus lanjutannya gimana le ??”
”Melihat pasukannya kocar – kacir, hamba lihat Arjuna bertindak. Busur panah disiapkan, panah andalannya kiai Pasopati dihunus, dipasangkan di busur panah siap dilepaskan ke arah Bapa Druna. Tiba – tiba gemetar tangan Arjuna, keringat dinginnya keluar, otot dan tulangnya seperti di-lelesi. Tanpa daya, Arjuna lemas ambruk dan semaput…”
Duryudana ”Ha..ha…wah harusnya aku ada di sana. Aku akan bertepuk tangan dan kalau perlu sekalian tepuk kaki untuk menyemangati Bapa Druna dan mempermalukan Arjuna. Terusannya gimana Kartomarmo ? Pandawa menyerah tentunya…”.
”Belum kakang prabu. Melihat adiknya pingsan, Wrekudara siap tumandang. Diayunkannya Gada Rujakpolo ke kiri dan ke kanan. Beberpa prajurit Astina yang dekat dengan Wrekudara terlempar dan terluka. Bapa Druna memang memiliki daya magis yang luar biasa, belum sampai jarak selemparan tombak Wrekudara mengarah ke Bapa Druna, seolah dipakukan di bumi, kaki Wrekudara tidak bisa digerakkan. Wrekudara termangu seperti patung, balik kanan ketika dipanggil oleh Prabu Kresna..”.
Sengkuni ”He..he…ya pasti begitu, Druna itu gurunya, jadi Wrekudara tidak akan berani melawan. Sudah saya duga kok ngger..terus Puntadewa nongol juga?? Atau menyerah pastinya ”
”Belum paman. Nggih..puntadewa mencoba maju perang…”
”Alah anak itu nggak pernah perang kok, ya pasti kalahnya sama Pandita Druna”
”Iya dicegah oleh Prabu Kresna, Puntadewa tidak jadi maju. Pandita Druna terus menerus mengamuk mengeluarkan kesaktiannya. Ratusan prajurit pandawa tewas. Tetapi tiba – tiba Wrekudara kembali ke arena lagi berteriak ’Swatama mati – swatama mati’”
Sengkuni”Loh, padahal Aswatama khan gak ikut perang dan belum mati ?”
”Iya paman Sangkuni”
”We lah, teriakan tipuan itu. Apus krama namanya…”
”Inggih Paman…teriakannya begitu nyaring dan disambut gemuruh oleh seluruh pasukan Pandawa…Teriakan ini terdengar oleh Paman Druna. Mendengar isu yang beredar di arena pertempuran ini, Bapa Druna seperti kehilangan tenaga, linglung, bingung kehilangan daya sangga tubuhnya. Beliau menangis gero – gero seperti anak kecil. Begawan Druna menyingkir dari arena perang, sembunyi di balik bukit. Badannya lemas ditumpukan pada lututnya yang bersandar di tanah merah. Tanpa diketahuinya, ada satria bertindak curang. Drestajumena menebas leher Pandita Druna dari belakang. Putus leher Pandita Druna, kepalanya menggelinding, ditendang – tendang oleh pasukan Pandawa, Kakang Prabu…hu..hu…..tidak tega saya melihatnya….oh ho…ho…”
Sampai di sini cerita Kartomarmo, tangis yang tadi ditahannya tidak bisa dia bendung. Rebah badannya seketika…
Demikian juga semua yang hadir diterpa kesedihan, kekecewaan, penyesalan dan rasa amarah tidak tahu kepada siapa. Tidak terlukiskan bagaimana perasaan kesedihan, kekecewaan dan kepedihan Prabu Suyodono mendengar kabar ini.
”Aduhh……Gustiii…gusti…, betapa tidak adilnya Engkau….Mengapa selalu kami yang tertima nestapa, mengapa hanya Pandawa yang engkau kasihi…..”

Salya gugur
setelah resi durna gugur, kurawa mengangkat prabu salya menjadi panglima dan sebagai pendampingnya diangkat kartomarmo. sebelum tampil perang untuk keesokan harinya, prabu salya telah membeberkan rahasia kelemahannya kepada kemenakannya nakula dan sadewa. karena ia telah merasa tiba saatnya. ia sekaligus menyerahkan kerajaan mandaraka kepada nakula, putra dewi madrim adiknya. selanjutnya ia mengatakan bahwa orang yang berdarah putihlah yang bisa mengalahkan ajian candrabirawa nya yaitu prabu yudhistira.
keesokan harinya Di ladang Kuru setra. Bau busuk bangkai hewan tunggangan perang yang berserakan semakin menusuk hidung. Darah para prajurit, senopati, dan agul agul pandawa maupu kurawa yang gugur sebagian mengering, sebagian masih terasa basah berjampur rereumputan kering dan debu musim kemarau. Semilir angin pagi hari mendendangkan senandung kepedihan, kesedihan. Rumput rumput kering berserakan tercerabut dari tanah berpijak, begitu pula nyawa para prajurit yang telah gugur terpisah dari raganya.
Ladang Kurusetra, sejak jaman kuno ketika Hutan Hastinapura diubah menjadi kerajaan oleh Prabu Gajah Hoyo (oleh karena itu jagad mengenal Hastinapura dengan sebutan Kerajaan Gajahoyo) telah menjadi saksi puluhan perang besar. Perang besar dunia pertama juga terjadi di sini. Ketika Prabu Tremboka dari Pringgandani mati sampyuh bersama Prabu Pandu kala itu. Pandu mati muda meninggalkan dua orang istri dengan anak2 yang masih kecil, bahkan Nakula Sadewa belum putus tali pusarnya.
Hari ini ternyata Sangkuni tidak mematuhi pesan Salya kemarin sore. Paling tidak itulah yang dilihat Salya. Kurawa telah memulai formasi perangnya dan menyerang prajurit Kurawa. Dari kejauhan Salya melihat Setyaki bertempur melawan…siapa di sana? Salya tidak mengenalinya. Namun perkiraannya mengatakan, pastilah lawan Setyaki itu adalah salah satu sekutu Duryudono dari Kerajaan sebrang. Drestajumena, senopati Pandawa itu, melawan musuh lain yang juga tidk dikenalnya. Begitu pula para prajurit tingkat bawah saling beradu satu sama lain. Salya belum lagi beranjak untuk memerintahkan pasukan setianya maju menggempur formasi Pandawa. Dalam hati dia mengumpat, Sangkuni memang tidak tahu tata krama. Sudah dipesannya jangan sampai tanpa perintahnya digelar formasi perang. Sebab dia adalah Senopati Agung. Di bawah kendalinya lah seharusnya segala pergerakan perag hari ini berada. “Duwoyoto…!”
“Hamba sinuwun prabu..”
“Sangkuni dan para kurawa memang tidak tahu tata krama dan sopan santun. Sudah aku pesankan, jangan sampai menggelar pasukan hari ini tanpa seijinku. Tapi mengapa mereka lancang mendahului perintah senopati??”
“Sinuwun Prabu memang benar adanya, namun lama lama saya amati, kelihatannya mereka bukan pasukan Kurawa sinuwun. Hamba tidak melihat pasukan kurawa dan kurawa ada di medan laga..”
“Oh ya…we la…siapa mereka Duwayata? Kelihatannya memang mereka sekutu Kurawa. Tetapi mengapa tidak terlihat Kurawa di sana? Hmm….ya sudah biarkan saja. Tahan pasukanmu, tidak perlu melakukan gerakan apapun”
“Sendika sinuwun…”
Maka demikianlah, Salya dan pasukan Mandaraka hanya diam menunggu dan mengamati apa yang terjadi di medan laga. Debu bergulung gulung beterbangan karena sapuan kaki kaki prajurit yang sedang bertempur, atau karena hentakan kaki kuda, gajah dan tunggangan yang lain. Suara gemuruh terdengar riuh rendah. Teriakan kemenangan berselang seling dengan jerit kesakitan. Sorak sorai yang berhasil merobohkan ditimpali erangan mereka yang dirobohkan. Pedang beradu dengan tameng, tusukan tombak mendesis menerjang sasarang. Anak panah bagai guyuran hujan dari dan menuju kedua belah pihak yang berlawanan.
Teriakan sorak sorai dari arah pandawa tiba tiba membahana. Setyaki berhasil merobohkan lawannya. Dengan ketangkasan dan keprigelannya, Si Bima Kunting ini berhasil merebut tombak lawannya setelah dua tiga kali menghindar terjangan. Sambil melenting menghindari tusukan horisontal tombak sang lawan, dikirimkannya tendangan tumit kaki kiri mengenai leher lawan. Lawan terhuyung ke belakang. Secepat ular mematuk mangsa, tangan Setyaki menghujamkan tinju ke pergelangan lawan, tombak terjatuh. Bersamaan dengan robohnya sang lawan. Setyaki sudah menggenggam tombak itu. Kendali sekarang ada padanya. Lawan yang roboh mencoba bangun, dengan terhuyung dia berdiri. Dicabutnya keris dari pinggangnya. Di sebrang sana Setyaki siaga memasang kuda kuda. Lawan melompat menerjang dengan keris terhunus. Setyaki melemparkan tombak ke sasaran. Tepat menghujam dadanya. Darah mengucur deras. Sang lawan sekali lagi roboh, kali ini tidak mampu bangun lagi. Sorak kemenangan prajurit pandawa menggema menggetarkan Kurusetra.
Di sisi lain, Drestajumana sibuk dengan lawan yang lain. Namun kelihatannya, ini bukan lawan sebanding baginya. Nyalinyapun ciut. Belum lagi sampai beradu senjata, namun begitu diketahunya bahwa senopatinya telah dikalahkan Setyaki diperintahkan pasukannya mundur.
Begitulah akhirnya, sekutu kurawa inipun kalah memalukan. Gemuruh kemenangan prajurit pandawa. Mereka tidak mengejar pasukan musuh yang lari tunggang langgang. Sebab, meskipun ini perang besar dan bisa jadi akan habis habisan, ada aturan yang harus dipatuhi kedua belah pihak. Salah satunya, tidak boleh ada penyerangan bagi mereka yang mundur. Apalagi sudah di luar padang Kurusetra. Perang ini hanya berlaku di ladang Kurusetra.
“Sekarang saatnya Duwoyoto, ayo perintahkan pasukanmu maju menerjang Pandawa..!”. Dan pasukan Mandaraka pun maju menyerbu. Sebagai incaran mereka tentu saja jika berhasil meringkus atau merobohkan salah satu pandawa lima, sudah cukup untuk menyatakan mereka menang. Namun tentu saja hal ini tidaklah mudah. Sudah tujuh belas hari perang ini berlangsung. Sudah berribu2 pasukan dikerahkan, sudah berpuluh panglima perang diturunkan Kurawa. Toh para pandawa masih segar bugar tanpa cela.
Drestajumena sedikit terkejut melihat serbuan pasukan Mandaraka. Meski sudah terdengar kabar sebelumnya, akan turun nya Salya di perang ini, tetap saja ada rasa was was di dadanya. Dia tahu, bagaimana tingginya keahlian Salya dalam strategi perang dan keprajuritan. Narayana pun mengakui ini. Ajian Canda Birawa yang disandang Salya, membuat siapapun miris. Namun dia adalah Senopati Pandawa sekarang, maka ditatanya perasaan diteguhkannya tekat. Dilihatnya wajah – wajah cemas pasukan Pandawa. Bahkan Setyaki sekalipun miris. Kabar mengerikan yang sayup – sayup dihembuskan Kurawa memakan mangsa. Tidak akan setengah hari, Pandawa dan seluruh pasukannya akan tumpas oleh Canda Birawa. Drestajumena, sang senopati membangkitkan kembali semangat pasukannya, “Kalian prajurit Pandawa…! Ingatlah kalian mengemban tugas suci saat ini. Jangan kalian ingkari kesanggupan dan janji kalian hanya karena kengerian akan kabar kesaktia Salya yang belum tentu benar. Aku sama sekali belum pernah melihat kebenarannya, kecuali kabar bohong yang sengaja disebarkan Kurawa. Para pendusta itu….! Apakah kalian percaya? Apakah kalian tidak malu ngeri dengan kabar bohong itu? Hayo tunjukkan keberanian kalian yang sudah terbukti dalam perang ini..Sudah terbukti ribuan prajurit kita robohkan, ratusan panglima Kurawa kita lumpuhkan, bahkan Maha guru Druno sekalipun. Tidak ada alasan untuk tidak bisa merobohkan Salya hari ini. Kembali ke formasi bunga teratai, lindungi Pandawa…!!! “
Pasukan pimpinan Drestajumena mengikuti perintah panglimanya. Entah sukarela atau terpaksa, hanya mereka yang tahu. Di pihak lawan, para prajurit Mandaraka maju menyerbu. Riuh rendah suara penyemangat perang terdengar dari arah mereka. Memang benar kondangnya, meski jumlahnya tidak seberapa ketangkasan mereka luar biasa. Mereka yang menunggang kuda atau menyerbu dengan berlari sama tangkasnya. Ketika jangkauan mereka sudah tercapai anak panah, ribuan anak panah menghujani pasukan Mandaraka itu. Luar biasa, tidak satupun dari mereka terkana. Sambil tetap maju menyerbu, mereka menangkis anak panah yang melesat dengan tameng, pedang, atau bahkan tombak mereka. Pasukan Mandaraka semakin dekat…dan duel satu lawan satu tak terelakkan. Bergelimangan pasukan Drestajumena tak kuasa menghadang mereka. Namun jumlah pasukan Mandaraka tidak sebanding. Perlahan mereka kewalahan juga, satu pasukan Mandaraka kira kira berhadapan dengan sepuluh pasukan Pandawa yang juga sangat terlatih. Melihat pasukannya berjatuhan, timbul amarah Salya. Yang tadinya sebenarnya hanya “lamis” dia berperang, cintanya kepada pasukan dan simbul simbul Negara manadaraka yang dicederai lawan, membuatnya marah juga. Disingkirkannya rasa ewuh pekewuh dan rasa welas kepada para pandawa keponakannya. Di medan laga ini, tidak ada keluaarga, tidak ada sanak saudara, tidak ada pepunden sesepuh. Yang ada hanyalah lawan, yang ada hanyalah musuh. Tidak ada kasih sayang, tidak ada welas asih. Yang ada hanyalah melukai jika tidak ingin terlukai, yang ada hanyalah membunuh jika tidak mau terbunuh. Dikerahkannya kesaktiannya. Panah disiapkan dibusurnya, secepat kilat panah itu terlepas dan ribuahn panah tiba2 saja seolah menyembur dari kereta salya menghujani arah pandawa. Drestajumena berteriak memberikan komando, “Kakang setyaki…bawa pasukanmu seutuhnya, kepung kereta Salya..Jangan sampai dia mendekat ke arah Pandawa…!” Segera Setyaki dan ratusan pasukannya mengepung kereta Salya. Ratusan tombak dilemparkan ke arah Salya. Tidak satupun mampu melukainya. Bahkan kuda kuda kereta itupun seolah hanya digigit semut ketika terkena senjata dari arah pasukan Setyaki. Setyaki dan pasukannya terdesak mundur, meski hanya menghadapi seorang Salya. Sebagian pasukan Drestajumena membantu menghadang laju Salya. Tak kuasa, panah Salya seolah tiada henti menyembur dan memakan korbannya. Jarak antara salya dan para pandawa di tengah formasi bunga teratai tak lebih dari sepuluh lapis pasukan, dengen Setyaki dan Drestajumana di garis depan. Arjuna bertindak. Dilepasknnya panah ardodedali, tidak mampu mengeni Salya. Namun menghantam payung kereta, menyambar leher kusir Duwuyoto. Mati seketika sang patih Duwoyoto.
Semakin menjadi jadi marah Salya. Sejenak kereta kehilangan keseimbangan karena ditinggalkan kusirnya. Sekarang Salya memegang sendiri tali kekang, sambil sesekali tangan kanannya melempar tombak ke arah pasukan pandawa untuk mencari jalan menyerbu Pandawa. Salya benar benar tidak lagi melihat pandwa sebagai kelurga, mereka semua dalah musuh saat ini.
Dari luar gelanggang Kresna berteriak, “Yayi Yudistira…sekarang giliran adinda…!”
Yudistira maju menerjang dengan menunggang kuda putih. Mengitari kereta salya seolah2 meledek Salya, “Mana ajian Canda Birawa Salya yang terkenal itu? Apakah terkenal kabar dustanya saja? Sebab sekalipun belum pernah aku melihatnya… ” Sayup sayup itulah yang didengar Salya. Meski terbersit juga keraguan, benarkah Yudistira selancang itu kepadanya meski ini di medan perang??
Di alam tapaksuci yang memisahkan dunia dan alam baka, arwah Bagaspati yang masih menunggu anak menantu tersayangnya mendapati momen yang dinantikan. “We lah…inilah saatku menghadap ke pengayunan Yang Maha Menang, sudah cukup lama aku menunggu. Sekarang Narasoma sudah berhadapan dengan manusia berdarah putih. Yudistira….jangan kaget, aku akan menyatu dengan ragamu.”
Salya semakin merasa terhina ketika kuda Yudistira hanya mengitari, mengejek dirinya. Lemparan tombak dan lontaran panah, tidak satupun mengenai Yudistira. Dikesampingkannya rasa ragu dan kasih sayang pada Yudistira, diucapkannya mantra ajian Candabirawa. Seketika muncul dihadappnya monster kerdil menyeramkan,”Narasoma….mengapa kamu panggil aku hmmm?”
“Canda birawa..,berpuluh tahun kamu di ragaku baru kali ini aku menyuruhmu. Yang menunggang kuda putih itu Ratu pandawa, hisaplah ubun2nya agar sampai pada kematiannya..”
“Wah..ha ha, jangan kuwatir tidak sampai kedip matamu usai, Yudistira akan tewas”. Dan ketika monster itu menampakkan wujudnya benar2 membuat prajurit yang melihat heran dan ngeri. Meski secara spontan itu membuat mereka maju menyerbu monster kecil itu. Bukan erangan kesakitan yang keluar dari mulut monster itu ketika berbagai sanjat menghujam tubuhnya, tetapi tawa kegirangan. Dan seketika monster itu berlipat seperti amuba membelah diri. Satu jadi sepuluh, sepuluh menjadi seratus, dan ratusan monster itu membuat pasukan pandawa dan senopatinya tunggang langgang. Sekarang hanya Yudistira yang menghadapi. Semua yang melihat keheranan melihat keanehan ini. Selama hidupnya, Yudistira tidak pernah perang. Kali ini begitu gagah beraninya dia menghadang Candabirawa, yang bahkan Bima Janaka pun ciut nyalinya. Keajaiban itu semakin bertambah ketika ratusan monster kerdil itu mendekati Yudistira. Bukan rasa benci apalagi amarah yang terlihat di wajah monster itu, tetapi kegembiraan yang luar biasa karena kerinduan yang kelihatannya sangat lama terpendam. Lihatlah seolah mereka anak anak kecil yang seharian ditinggal ibunya. Semmuanya menubruk dan ingin merangkul Yudistira. Entah apa yang terjad, ketika tubuh2 mereka menyentuh Yudistira, seketika hilang tidak berbekas.
Tak terdengar lagi raungan monster2 canda birawa. Yudistira bersiap. Dihusnya panah dari sarungnya, dipasangkannya ke busur. Panah itu sudah ditumpangi Jimat Kalimasada. Seolah tanpa ragu dan tetlihat sangat terlatih, Ydistira melepaskan anak panahnya. Tepat mengenai dada Salya. Salya gugur memenuhi janji dan melunasi hutangnya. Bagi yang melihat kasar mata mungkin itu adalah penderitaan dan aib. Namun bagi Salya sebaliknya. Inilah bukti cintanya pada pandawa dan kebenaran. Dikorbankannya nyawa untuk membelanya. Ini pula momen yang ditunggunya, ketika dia melunasi hutang kepada Bapak mertuanya. Dengan demikian, dia pulang ke pangkuan yang maha sempurna, dengan kesempurnaan. Paling tidak tiada membawa beban dan janji yang tak terlunasi.

Sengkuni gugur
Setelah Prabu Salya gugur di Tegal Kurusetra, kini ganti Patih Sengkuni dengan kereta pe rangnya memasuki Tegal Kurusetra, menuju pertahanan Pandawa. Ternyata Patih Sengkuni betul betul mahir dalam memainkan segala senjata, dari panah, pedang, juga gada.Patih Sengkuni dikala mudanya, satria dari Gandara, bernama Sri Gantalpati, seorang pemuda yang tampan dan sakti pula. Ia mengikuti Sayembara memperebutkan Dewi Kunti di kerajaan Mandura. Namun gagal, ia dikalahkan oleh Pandu.
Berkali kali senjata senjata Pandawa mengenai tubuh Sengkuni namun, tidak satupun bisa melukai Sengkuni. Bahkan Sengkuni melepaskan berbagai panah ke arah Arjuna dan Patih Sengkuni berhasil mematahkan serangan panah Arjuna.
Werkudara mencegat kereta perang Sengkuni. Werkudara me maksa Sengkuni turun dari Kereta perang. Sengkuni pun turun. Terjadi perkelahian antara Werkudara dan Sengkuni.
Berkali-kali Werkudara memukul tubuh Sengkuni dengan Gada Rujakpolo. Namun Sengkuni hanya ketawa-ketawa, ia tidak merasakan kesakitan. Werkudara terus memukul Sengkuni dari kepala, dada, perut, sampai paha,betis dan telapak kaki, namun kelihatannya tidak merasakan apa apa.
Werkudara tidak patah semangat. Gada Rujakpolo ditinggalkan, Werkudara maju menghadapi Sengkuni, terjadilah perkelahian, berkali-kali Werkudara menangkap Sengkuni, namun kulit Sengkuni licin bagaikan belut, sehingga selalu lepas.
Werkudara terus melawan Sengkuni. Werkudara, teringat masa lalu, kejadian Bale Sigolo golo, yang hampir membawa korban para Pendawa, itu karena perbuatan Sengkuni. Perang dadu, itu ide Sengkuni yang mencurangi Pandawa, hingga Pandawa sengsara 13 tahun di hutan.
Sedangkan Sengkuni merasa kecewa ketemu Prabu Pandu di Mandura, waktu sayembara memperebutkan Dewi Kunti, Sengkuni menyerahkan Dewi Gendari, kakaknya pada Pandu, dengan harapan agar kakaknya bisa berbahagia bersama Pandu. tetapi ternyata kakaknya di berikan pada Drestarastra. Andaikata Dewi Gendari tidak diberikan pada Drestarastra, Kurawa itu menjadi anak Pandu. Sehingga Pandu akan memiliki 105 anak. Pastilah Astina sangat kuat. Dan tidak ada perang Barata Yudha. Semua ini gara-gara Pandu. Maka Sengkuni ingin membunuh anak-anak Pandu, yang telah membikin sengsara.
Werkudara capek menghadapi Sengkuni. Tiba-tiba Werkudara ingat, bahwa kulit Sengkuni amat licin, dan peluhnya berbau lengo tolo (mungkin, minyak tanah), ini pasti ada hubungannya waktu Kurawa dan Pendawa masih kecil bermain di sumur tua menemukan cupu lengo tolo milik kakek Abiyasa yang berisi minyak kesaktian. Yang akhirnya lengo tolo diambil Sengkuni dan dilumurkan keseluruh tubuhnya.
Werkudara langsung meraih leher Sengkuni, lalu dihimpitnya dengan lengannya kuat kuat, sehingga lehernya tercekik, dan mulutnya pun membuka lebar kehabisan napas. Werkudara memasukkan kuku Pancanaka kedalam mulut Sengkuni karena Sengkuni tidak meminum lengo tolo,maka dengan mudah dirobek robeknya sampai kedalam leher dan menembus ke jantungnya. Namun Sengkuni masih hidup. Ia mengerang kesakitan. Werkudara menjadi ngeri dan ketakutan. Walaupun sudah luka berat, Sengkuni tidak mati mati.
Prabu Kresna meminta Werkudara bisa menyempurnakan kematiannya. Werkudara akhirnya mengerti keadaan ini dikarenakan kesaktian Lengo tolo yang dioleskan kesekujur tubuh Sengkuni. Setelah terkelupas kulitnya, akhirnya Sengkuni pun Gugur.

Duryudana gugur
senopati terakhir kurawa akhirnya maju ke medan perang. werkudara menekan pasukan astina sehingga mereka terdesak. prabu duryudana lari namun dapat ditemukan oleh bima. dua raksasa pihak kurawa dan pandawa bertemu. pertarungan berjalan seimbang. hingga lama pertarungan belum juga dapat diketahui pemenangnya. hingga batara kresna ingat bahwa kelemahan(pengapesan) duryudana berada di paha kanannya. ia lalu memberi tanda pada bima dengan menepuk2 pahanya. bima segera tanggap dan menyerang paha duryudana, akhirnya duryudana kalah oleh bima
dengan matinya duryudana maka selesai sudah perang bharatayudha.
BHARATAYUDHA (6)SULUHAN - GATOTKACA GUGUR
Setelah burisrawa gugur, kurawa mengangkat adipati karna dari awangga sebagai senopati. Hari sudah gelap, sang surya sudah lama meninggalkan jejak sinarannya di ladang Kurusetra. Harusnya perang dihentikan, masing – masing pihak beristirahat dan mengatur strategi untuk perang esok hari. Namun entah mengapa Kurawa mengirim senopati malam – malam begini.

Adipati Awonggo ngamuk punggung menerabas dan menghancurkan perkemahan pasukan Pandawa di garda depan. Penjaga perkemahan kalang kabut tidak kuasa menandingi krida Sang Adipati Karno. Secepat kilat berita ini terdengar di perkemahan Pandawa Mandalayuda. Sri Kresna tahu apa yang harus dilakukan. Dipanggilnya Raja Pringgondani Raden Haryo Gatotkaca, putra kinasih Raden Brataseno dari Ibu Dewi Arimbi. Disamping Sri Kresna, Raden Brataseno berdiri layaknya Gunung memperhatikan dengan seksama dan waspada pembicaraan Sri Kresna dengan putranya.
”Anakku tersayang Gatotkaca….Saat ini Kurawa mengirimkan senopati nya di tengah malam seperti ini. Rasanya hanya kamu ngger yang bisa menandingi senopati Hastina di malam gelap gulita seperti ini”
”Waduh, wo prabu…..terimakasih Wo. Yang saya tunggu – tunggu akhirnya sampai juga kali ini. Wo prabu, sejak hari pertama perang baratayuda saya menunggu perintah wo prabu untuk maju ke medan perang. Wo prabu Kresna, hamba mohon do’a restu pamit perang. Wo hamba titipkan istri dan anak kami Danurwindo. Hamba berangkat wo, Rama Wrekudara mohon pamit….”
“Waaa………Gatot iya…..“
Sekejap Gatotkaca tidak terlihat. Sri Kresna merasakan bahwa inilah saatnya Gatotkaca mati sebagai pahlawan perang Pandawa. Dia tidak mau merusak suasana hati adik – adiknya Pandawa dengan mengutarakan apa yang dirasakannya dengan jujur. Namun perasaan wisnu nya mengatakan Wrekudara harus disiapkan untuk menerima kenyataan yang mungkin akan memilukannya nanti.
“Wrekudoro…“
“Kresna kakangku, iya ….“
“Aku kok agak merasa aneh dengan cara pamitan Gatotkaca, mengapa harus menitipkan istri anaknya ??“
“Wah…Kakang seperti anak kecil. Orang berperang itu kalau nggak hidup ya mati. Ya sudah itulah anakku Gatotkaca, dia mengerti tugas dan akibatnya selaku satria.“
“Oo..begitu ya, ya sudah kalau begitu. Kita sama – sama doakan mudah-2an yang terbaik yang akan diperoleh anakmu Gatotkaca.“. Sebenarnya Kresna hanya mengukur kedalaman hati dan kesiapan Wrekudara saja. Paling tidak untuk saat ini, Wrekudara terlihat sangat siap dengan apapun yang terjadi.
Malam gelap gulita, namun di angkasa ladang Kurusetra kilatan ribuan nyala obor menerangi bawana. Nyala obor dari ribuan prajurit dua belah pihak yang saling hantam gada, saling sabet pedang, saling lempar tombak, saling kelebat kelewang dan hujan anak panah. Gatotkaca mengerahkan semua kesaktian yang dimilikinya. Dikenakannya Kutang Antakusuma, dipasangnya terompah basunanda, dikeluarkan segala tenaga yang dimilikinya. Terbang mengangkasa layaknya burung nazar mengincar mangsa. Sesekali berkelebat menukik merendah menyambar buruannya. Sekali sambar pululan prajurit Hastina menggelepar tanpa daya disertai terpisahnya kepala – kepala mereka dari gembungnya.
Semenjak lahir, Gatotkaca sudah menunjukkan tanda-tanda kedidgyaannya. Ari – arinya berminggu – minggu tidak bisa diputus dengan senjata tajam apapun. Kuku pancanaka Wrekudara mental, Keris Pulanggeni Arjuna tiada arti, Semua senjata Amarta sudah pula dicobai. Namun ari – ari sang jabang bayi seperti bertambah alot seiring bertambahnya usia si jabang bayi. Para pinisepuh Amarta termasuk Sri Kresna pun kehabisan reka daya bagaimana menolong Sang jabang bayi Dewi Arimbi ini.
Maka lelaki kekasih Dewata – Sang Paman Raden Arjuna – menyingkirkan sejenak dari hiruk piruk dan kepanikan di Kesatrian Pringgondani. Atas saran Sri Kresna, Raden Arjuna menepi. Semedi memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kiranya memberikan kemurahannya untuk menolong Pandawa mengatasi kesulitan ini.
Di Kayangan Suralaya, permintaan Arjuna didengar oleh para dewa. Bethara Guru mengutus Bethara Narada untuk memberikan senjata pemotong ari – ari berupa keris Kunta Wijayandanu. Bethara Narada turun dengan membawa senjata Kunta bermaksud menemi Arjuna yang kala itu diiringi oleh para punakawan, abdi tersayang.
Sahdan di tempat lain, Adipati Karno sedang mengadu kepada Ayahnya Dewa Surya, dewanya Matahari. Adipati Karno, memohon welas asih kepada Sang Ayah untuk memberikan kepadanya senjata andalan guna menghadapi perang besar nanti. Dewa Surya menyarankan anaknya untuk merampok Senjata Kunta dari Bethara Narada. Karno dan Arjuna adalah saudara seibu yang wajah dan perawakkanya sangat mirip melebihi saudara kembar. Hanya suara saja yang membedakan keduanya. Maka ketika Adipati Karno dirias oleh Dewa Surya menyerupai Arjuna, Bathara Narada tidak akan mengenal Adipati Karno lagi melainkan Arjuna.
Kelicikan Dewa Surya tidak cukup di situ. Siang yang terik dan terang benderang itu tiba – tiba meredup seolah menjelang malam. Dengan upaya dan rekayasanya, terjadilah gerhana surya. Narada, dewa yang sudah tuwa dengan wajah yang selalu mendongak ke atas itu, semakin rabun karena gerhana ini.
Adipati Karno mencegat Bethara Narada, tanpa perasaan curiga diberikannya senjata Kunta kepada ”Arjuna”. Merasa tugas selesai Narada berniat kembali ke Kahyangan. Ternyata masih ditemuinya Arjuna lagi yang kali ini tidak sendiri melainkan diiring para punakawan. Sadar Narada tertipu, diperintahkannya Arjuna untuk merebut senjata kunta dari Sang Adipati Karno. Perang tanding tak bisa dielakkan, namun hanya warangka senjata yang dapat direbut oleh Arjuna dari kakak tertuanya itu. Dengan warangka senjata itulah ari – ari jabang bayi arimbi yang kelak bernama Raden Gatotokaca dapat diputus. Keanehan terjadi ketika sesaat setelah ari – ari jabang bayi diputus, seketika warangka hilang dan menyatu ke badan si jabang bayi.
Sekarang, saat perang besar terjadi takdir itu sudah sampai waktunya. Senjata Kunta mencari warangkanya, di tubuh Raden Gatotkaca. Tidak berarti sesakti apapun Gatotkaca, setajam pisau cukur tangannya memancung leher musuhnya. Konon pula otot gatotkaca sekuat kawat tembaga, tulangnya sealot besi tempa. Kesaktiannya ditempa di Kawah Candradimuka. Namun garis tangan Gatotkaca hanyalah sampai di sini.
Di gerbang yang memisahkan antara alam fana dengan alam baka, sukma Kalabendono, paman yang sangat menyawangi Gatotkaca menunggu “sowan ke pengayunan yang Maha Pemberi Hidup”. Begitu sayangnya Kalabendono kepada keponakannya, sukmanya berjanji tidak akan kembali ke asal kehidupan jika tidak bersama sang keponakan.
Di sisi seberang ladang pertempuran, Karno telah siap dengan busur panahnya dengan anak panah Kunta Wijayandanu. Dalam hatinya berbisik “Anakku bocah bagus, belum pupus bekas ari – arimu….berani – beraninya kamu menghadapi uwakmu ini. Bukan kamu yang aku tungggu ngger…Arjuna mana? Ya ya ..sama – sama menjalani darma satria, ayo aku antarkan kepergian syahidmu dengan Kunta Wijayandanu”.
Gatotkaca, mata elangnya sangat tajam melihat gerak – gerik seekor tikus yang baru keluar dari sarangnya. Pun meski dia melihatnya dari jarak ribuan tombak diatas liang tikus itu. Begitu pula, dia tahu apa yang sedang dilakukan Sang Adipati Karno. Dia tahu riwayatnya, dia tahu bahwa warangka senjata Kunta ada di tubuhnya dan menyokong kekuatannya selama ini. Dicobanya mengulur takdir. Dia terbang diantara awan – awan yang gelap menggantung nun di atas sana. Dicobanya menyembunyikan tubuhnya diantara gelapnya awan yang berarak – arakan di birunya langit.
Namun takdir kematian sama sekali bukan di tangan makhluk fana seperti dia. Takdir itu sejengkal pun tidak mungkin dipercepat atau ditunda. Sudah waktunya Gatotkaca, sampai di sini pengabdian kesatriaanmu. Kunta Wijayandanu dilepaskan dari busurnya oleh Adipati Karno. Di jagad ini hanya Arjuna yang mampu menyamai keahlian dan ketepatan Basukarno dalam mengolah dan mengarahkan anak panah dari busurnya. Kuntawijandanu melesat secepat kilat ke angkasa, dari Kereta perang Basukarno seolah keluar komet bercahaya putih menyilaukan secepat kilat melesat.
Di angkasa….Kalabendono yang sudah siaga menunggu tunggangan, dengan sigap menumpang ke senjata Kunta. Senjata kunta dan Kalabendono, menghujam ke dada Gatotkaca, membelah jantung Sang Satria Pringgandani. Dalam sekaratnya, Gatotkaca berucap ”Aku mau mati kalau dengan musuh ku….”. Seperti bintang jatuh yang mencari sasaran, jatuhnya badan Gatotkaca tidak lah tegak lurus ke bawah, namun mengarah dan menghujam ke kereta perang Basukarno. Basukarno bukanlah prajurit yang baru belajar olah kanuragan setahun dua tahun. Dengan keprigelan dan kegesitannya, sebelum jasad Gatotkaca menghujam keretanya dia melompat seperti belalang menghindar dari sergapan pemangsa.
Jasad gatotkaca menimpa kereta, Keretapun hancur lebur, pun delapan kuda dengan kusirnya tewas dengan jasad tidak lagi bebentuk. Selesailah episode Gatotkaca dengan perantaraan Uwaknya, Adipati Karno Basuseno.
Gugurnya Gatotkaca menjadi berita gembira di kubu kurawa. Para prajurit bersorak sorai mengelu – elukan sang Adipati Karno. Kepercayaan diri mereka berlipat, semangat perang mereka meningkat. Keyakinan diri bertambah akan memenangi perang dunia besar yang ke empat ini.
Sebaliknya, kesedihan mendalam tergambar di kubu Pandawa. Wrekudara hampir – hampir tidak mampu menguasai diri ”Gatot…, jangan kamu yang mati biar aku saja bapakmu…Hmmm Karno…..!!! beranimu hanya dengan anak kemarin sore..Ayo lawanlah Bapaknya ini kalau kamu memang lelaki sejati…!”. Arimbi, sang ibu, tidak kuasa menahan emosi. Selagi para pandawa meratapi dan merawat jasad Gatotkaca, Arimbi menceburkan ke perapian membara yang rupanya telah disiapkannya. Sudah menjadi tekatnya jika nanti anak kesayangannya mati sebelum kepergiannya ke alam kelanggengan, dia akan nglayu membakar diri. Dan itu dilakukannya sekarang.
Pandawa, dengan demikian kehilangan dua keluarga dekat sekaligus di malam menjelang fajar ini. Wrekudara kehilangan anak tersayang dan istri tercintanya. Namun keturunan tidaklah terputus, karena baik Antareja maupun Gatotkaca telah mempunyai anak laki – laki sebagai penerus generasi Wrekudara.
Fajar menjelang, jenazah Gatotkaca dan abu Arimbi telah selesai diupakarti sesuai dengan ageman dan keyakinan mereka. Sri Kresna sudah bisa menenangkan Wrekudara dan para pandawa yang lain. Sekarang saatnya mengatur strategi. Tugas harus dilanjutkan. Pekerjaan harus diselesaikan, perang harus dituntaskan. Dunia akan segera mengetahui, gunjingan dunia mengenai perang besar antar dua saudara kembar akan segera terjadi siang ini.
Dursasana gugur
Werkudara melihat anaknya, Gatutkaca gugur di Tegal Kurusetra menjadi marah. Werkudara menyapu para Kurawa dengan gada Rujakpolonya. Banyak korban berjatuhan.
Akhirnya Werkudara mendapatkan Dursasana dalam posisi sudah terpojok. Dursasana adalah pendamping Senapati Adipati Karna. Werkudara dan Dursasana berkelahi habis-habisan.
Werkudara teringat waktu Perang dadu. Yaitu tantangan Kurawa bermain judi kepada Pandawa, namun dengan kecurangan Patih Sengkuni maka semua harta benda, Istana sampai dengan Dewi Drupadi menjadi taruhan. Sampai Pandawa menjadi budak. Harus melepaskan seluruh pakaian kerajaan. Sedangkan Dursasana belum puas dengan itu, masih berbuat kurang ajar. Ia menjambak rambut Dewi Drupadi dan menyeret Dewi Drupadi ketengah tengah jkerumunan Kurawa sampai sanggulnya lepas, dan Dursasana berusaha menelanjangi Dewi Drupadi.

Para Pandawa yang telah menjadi budak tidak bisa berbuat apa-apa, mereka tidak bisa menolong Dewi Drupadi.Namun atas pertolongan Sanghyang Wisnu, maka setiap lapis kain yang lepas selalu diganti , sehingga Dursasana sampai bercucuran keringat ketika melepas kain Dewi Drupadi. Pakaian Drupadi sudah menumpuk, namun kain yang dibadan Dewi Drupadi tidak pernah habis.
Disinilah Dewi Drupadi bersumpah, bahwa selama hidupnya tidak akan menyanggul rambutnya, sebelum keramas dengan darah Dursasana Sedangkan Werkudara bersumpah untuk membunuh Dursasana dan menghirup darahnya.
Ahirnya Werkudara dengan kekuatan amarah, bagai serigala hutan, memukul Dursasana dengan Gada Rujakpolo. Berkali kali dihantamkannya Gada Rujakpala ke tubuh dan kepala Dursasana, sehingga tubuh dan kepalanya hancur. Werkudara menghirup darah Dursasana untuk memenuhi sumpahnya. Setelah itu dengan sebuah topi baja prajurit,yang tergeletak didekatnya, Werkudara mengambilnya, untuk dijadikan sebagai bokornya, untuk menampung darah Dursasana dan dibawanya pergi menjumpai Dewi Drupadi yang sedang menunggu di perkemahan Tegal Kurusetra. Werkudara memberikan bokor berisi darah Dursasana kepada Dewi Drupadi. Dewi Drupadi segera membasuh rambutnya dengan darah Dursasana, maka Dewi Drupadi telah memenuhi sumpahnya. Dewi Drupadi berterima kasih kepada Werkudara.

MAHABHARATA
Pandawa Lima merupakan tokoh yang tidak dapat dipisahkan dengan kisah Mahabarata, karena Pandawa Lima merupakan tokoh sentralnya bersama dengan Kurawa.


Kisah Lengkap Tentang Pandawa Lima

Pertempuran antara Pandawa Lima dengan Kurawa yang masih mempunyai hubungan saudara, karena Pandawa Lima memperjuangkan hak tahtanya atas Kerajaan Hastinapura yang di kuasai oleh para Kurawa ( Prabu Suyudhana dengan saudara-saudaranya yang berjumlah seratus ).
Pandawa lima adalah sebutan lima bersaudara, putra dari Pandu Dewanata yakni Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa.

Yudistira dengan nama kecilnya Puntadewa, Bima dengan nama kecilnya Sena, dan Arjuna dengan nama kecilnya Permadi dilahirkan dari ibu Dewi Kunti sedang Nakula dengan nama kecilnya Punten dan Sadewa dengan nama kecilnya Tangsen dilahirkan dari ibu Dewi Madrim.

Pandu Dewanata adalah Raja Hastinapura, tetapi mati muda dan anak-anaknya masih kecil-kecil sehingga belum memungkinkan untuk memegang kendali pemerintahan, untuk mengisi ke kosongan pemerintahan Hastinapura, maka diangkatlah Destaratra yang buta, kakak Pandu Dewanata untuk menduduki jabatan sementara tahta Hastina, kelak jika putra-putra Pandu telah dewasa, Hastinapura akan diserahkan pada Pandawa Lima, putra Pandu yang mempunyai hak atas tahta Hastina secara syah.

Rencana penyerahan tahta Hastinapura ke para Pandawa Lima Putra Pandu secara damai kelaknya hanya tinggal rencana saja, karena ren-cana tersebut terhalang oleh Dewi Gendari Istri Destarastra yang sangat ambisius, apa lagi ambi si Dewi Gendari didukung oleh adiknya Harya Su man alias Sengkuni, menjadi patih Hastinapura, mempunyai watak iri, dengki dan syirik yang menghalakan segala cara untuk mencapai tujuannya.

Destarastra disamping buta, pendiriannya juga kurang kuat, mudah berubah, mudah diha sut dan mudah dibujuk oleh anak-anaknya yang berjumlah seratus, dikenal dengan Kurawa atau Sata Kurawa yang hampir seluruh anaknya berwatak pendusta, iri, dengki, tamak, syirik dlsb.

Patih Harya Suman alias Sengkuni sangat besar sekali pengaruhnya pada para Kurawa dalam membentuk anganggapan bahwa Pandawa Lima merupakan musuh dan saingan terberatnya, karena itu harus disingkirkan dengan cara apapun juga, agar Hastinapura tidak jatuh ketangan Pandawa Lima Putra Pandu, sebagai pewaris syah atas tahta Hastinapura.

Meskipun Pandawa Lima dan Kurawa berguru pada guru yang sama yakni Resi Durna ( Druna ) dan Resi Krepa, tetapi permusuhan diantara mereka tidak dapat dipadamkan untuk menjadi rukun, bahkan semakin menjadi-jadi.

Pandawa Lima selalu lebih unggul dlm ke-trampilan ulah senjata dan ulah krida dari pada para Kurawa. Puntadewa selalu lebih unggul dibi dang sastra dan ketatanegaraan, Bima unggul dibidang memainkan senjata gada, Harjuna unggul dibidang memanah dan ulah pedang sedang kan Nakula dan Sadewa tidak ikut berguru kare-na masih terlalu kecil.

Bima bersosok tubuh besar, konon sangat jahil suka mengganggu Kurawa dengan tiada sebab Kurawa sering ditampar dan ditempeleng oleh Bima terutama Suyudhana/Duryudhana dan Dursasana ( adik Suyudhana ), akhirnya menimbulkan perkelahian tetapi selalu dimenangkan oleh Bima meskipun Bima dikeroyok mereka berdua, karena itu Bima selalu menjadi sasaran pelampiasan dari kekesalan mereka.

Suatu saat Bima yang sangat rakus, dalam makanannya diberi racun oleh Kurawa, setelah Bima tidak sadarkan diri kemudian dibuang kedalam sumur Jalatunda yang berisi penuh dengan ular beracun ganas. Karena pertolongan Batara Dadungnala, Bima dapat selamat dan sejak itu Bima menjadi kebal terhadap segala macam racun betapapun ganasnya racun tersebut.

Mengetahui usahanya menyingkirkan Bima gagal, maka Kurawa berusaha lagi untuk menyingkirkan Pandawa Lima dengan cara membakar bale Sigala-gala tempat menginap para Putra Pandu dan Ibunya Dewi Kunti, tetapi usaha itupun gagal lagi, karena Putra Pandu memperoleh pertolongan dari Batara Naradha, Sang Hyang Antaboga dan Yama Widura.

Untuk mencegah Pandawa Lima dan para Sata Kurawa agar tidak terjadi sengketa terus menerus, para tetua mereka terutama Resi Bis- ma dan Yama Widura, menganjurkan kepada Destarastra agar Pandawa Lima diberi hutan Kan dawaprastha atau Wanamarta, saran tersebut diikuti oleh Destarastra dan hutan Wanamartalah yang diberikan pada Pandawa Lima.

Dalam waktu singkat Pandawa Lima yang dibantu oleh beberapa Dewa dan sahabat saha-batnya, berhasil merubah hutan belantara menja di sebuah kerajaan yang besar dengan nama Amerta dan Indraprasta sebagai ibu kotanya.

Semakin lama Amerta menjadi semakin ma ju, kerajaannya menjadi semakin besar dan kuat, banyak kerajaan kecil-kecil, bergabung berkat perjuangan Bima dan Harjuna.

Sebagai pernyataan syukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa atau Sang Maha Pencipta Ja-gad Raya ini, maka para pembesar Kerajaan A-marta mengadakan syukuran, sesaji kepada Raja Suya dan para Kurawapun diundang untuk meng hadiri upacara sesaji itu dan dalam pelaksanaan upacara sesaji tersebut terdapat keributan antara Prabu Kresna dengan Prabu Si Supala, berakhir dengan meninggalnya Prabu Si Supala, tetapi tidak menggangu kelancaran jalannya upacara sesaji.

Karena sudah mempunyai bibit rasa iri dan dengki pada Pandawa Lima, maka Kurawa menilai bahwa upacara tersebut merupakan pameran kekuatan Pandawa Lima, hal demikian dimanfaatkan oleh Patih Sengkuni untuk mempengaruhi para Kurawa agar membuat sengsara pada Pandawa Lima (Putra Pandu).

Prabu Duryudhana atas nama Kurawa, mengundang Pendawa Lima untuk menghadiri pes-ta yang diadakan di kerajaan Hastinapura, atas hal tersebut para tetua Hastinapura seperti Pra bu Destarastra, Resi Bisma dan Yama Widura menilai bahwa antara Pandawa Lima dengan para Sata Kurawa telah berdamai dan bersahabat.

Penilaian tetua Hastinapura ternyata mele-set, karena undangan Kurawa hanya merupakan siasat untuk membuat sengsara Pandawa Lima.

Waktu itu Pandawa Lima diajak minum mi-numan yang memabukkan sampai mabuk dan dalam kondisi mabuk itulah Pandawa Lima dia-jak main judi, Pandawa Lima diwakili oleh Yudistira dan Hastinapura diwakili oleh Patih Sengkuni (Harya Suman). Dalam permainan judi tersebut Pandawa Lima di kalahkan, karena di curangi oleh para Kurawa, judi dan mabuk-mabukan sudah merupakan kebiasaan sehari-hari bagi para Kurawa.

Awalnya Pendawa Lima sering dimenang-kan, tetapi setelah taruhan diperbesar dan merupakan target Para Kurawa, maka Pendawa Lima dikalahkan, sesudah kerajaan Amarta dipertaruhkan dan dikalahkan, keadaan semakin panas, ke-mudian setelah adik-adiknya dan dirinya yang di jadikan taruhan kalah juga, maka Dewi Drupadi istrinyapun dipertaruhkan pula.

Dewi Drupadi waktu itu dikaputren kemudian diseret kebalairung, dipermalukan dan menarik rambutnya sampai terurai. Pada saat itulah Dewi Drupadi mengucapkan sumpahnya, bahwa ia tidak akan menyanggul rambutnya lagi, kecuali setelah keramas dengan darahnya Dursasana adik Prabu Duryudhana ( Suyudhana ), demikian juga Bima bersumpah, bahwa dalam perang Bha ratajuda nanti akan membunuh Prabu Duryudhana (Suyudhana) dan meminum darahnya.

Nasib Pandawa Lima dan Dewi Drupadi a-gak tertolong dengan campur tangannya tetua Hastinapura Resi Bisma dan Yama Widura. Dewi Drupadi diminta untuk diserahkan kepada Resi Bisma dan diberikan, untuk ini para Kurawa salah sangka dikiranya Resi Bisma ingin menikmati kemenangannya pada hal Dewi Drupadi akan diserahkan kembali kepada Pandawa Lima oleh Resi Bisma.

Atas kekalahan judi para Pandawa Lima, te tua Hastina mengambil kebijaksanaan dan jalan tengah, bahwa Pandawa Lima harus menjalani hukuman pembuangan di hutan selama 12 tahun dan masa penyamaran selama 1 tahun, dalam masa penyamaran apabila salah satu dari Panda wa lima dapat dipergoki, maka mereka semua ha rus menjalani pembuangan ulang lagi selama 12 tahun, dan masa penyamaran 1 tahun.

Dewi Drupadi-pun mengikuti para Pandawa Lima dalam menjalani hukuman pembuangan, sedangkan Dewi Kunti ibu para Pandawa Lima tetap tinggal Kerajaan Hastinapura. Sebagian Istri dan anak-anaknya Raden Harjuna dititipkan di Kerajaan Cempalaradya, Dewi Wara Subadra dan sebagian lagi istri-istri Raden Harjuna dan anak-anaknya dititipkan di Kerajaan Dwarawati.

Dalam masa menjalani hukum pembuang - an, Raden Harjuna dan Bima memanfaatkan wak tunya untuk memperdalam ilmunya dan mencari senjata pusaka. Bima bertemu dengan Anoman saudara tunggal Bayu yang mengajarkan berbagai ilmu kesaktian kepadanya.

Setelah Pandawa Lima menyelesaikan ma-sa pembuangan 12 tahun lamanya, kemudian menjalani masa penyamaran di Kerajaan Wirata. Puntadewa menyamar sebagai ahli sejarah dan tatanegara dengan nama Wijakangka, Bima sebagai Jagal/penyembelih hewan dengan nama Jagal Abilawa, Harjuna sebagai guru tari yang kebanci-bancian dengan nama Kandhi Wrahatmala, Nakula dan Sadewa sebagai pelatih dan pemelihara kuda dengan nama Darmagranti dan Tantripala. Dewi Drupadi menjadi dayang istana dengan nama Sailandri atau Salindri.

Disaat hari penyamaran Pandawa Lima ber-akhir terjadilah penyerbuan Hastinapura dengan sekutu-kutunya ke Kerajaan Wirata. Para Pandawa Lima tidak dapat tinggal diam ketika melihat kejadian penyerbuan yang telah mengganggu ketenangan dan ketentraman Kerajaan Wirata tempat mereka menyamar selama ini.

Dengan ikutnya Pandawa turun kemedan perang, akibatnya para Sata Kurawa mengetahui penyamaran Pandawa Lima. Maka ketika diada kan perundingan untuk memulihkan hak Panda wa Lima atas Kerajaan Amarta dan setengah Kerajaan Hastina, ditolak oleh Kurawa dengan alasan penyamarannya telah dipergoki, karena itu Pandawa harus menjalani ulang kembali masa hukumannya 12 tahun dalam pembuangan dan 1 tahun masa penyamaran.

Menurut perhitungan tetua Hastina, Panda wa Lima telah menjalani masa hukuman dengan sempurna, karena itu mereka harus dikembalikan hak-haknya termasuk setengahnya Kerajaan Hastinapura, namun hal demikian ditolak oleh Kurawa. Meskipun Pandawa Lima dalam perundingan diwakili oleh Prabu Kresna sebagai duta Pandawa Lima.

Karena perundingan damai mengalami ke-gagalan, maka pecahlah pertempuran utk mem-perjuangkan haknya, kemudian dikenal dengan kisah “MAHABHARATA”, masa pertempurannya selama 18 hari, berakhir dengan kemenangan Pandawa Lima, tetapi semua putra Pandawa Lima gugur dimedan perang di Tegal Kurusetra.

Yudistira dikenal sebagai sosok suci tanpa dosa, sedangkan Bima dan Raden Harjuna dikenal sebagai sosok yang telah mencapai kesempurnaan diri, mengetahui sejatinya urip/hidup.

Bima waktu itu diperintah oleh Resi Druna untuk mencari air suci, maksudnya untuk mence lakakan Bima, tetapi sebaliknya Bima bertemu dengan Dewa Ruci yang memberi wejangan tentang ilmu kasampurnan hidup, Raden Harjuna memperoleh wejangan ilmu Hasta Brata dari Panembahan Kesawasidhi di Puncak gunung Suwelagiri Pertapaan Kutharunggu. Hasta Brata merupakan ilmu spiritual setingkat dengan air suci yang diperoleh Bima untuk mencapai kesempurnaan hidup.

Dihari tuanya, Pandawa Lima dengan sadar merupakan hari-hari utk menyongsong saat ke-matian, setelah menobatkan Parikesit cucu Ra-den Harjuna sebagai Raja Hastinapura, beberapa tahun kemudian Pandawa Lima mendaki kepun cak Gunung Himalaya, termasuk Dewi Drupadi untuk menyongsong kematian, diikuti oleh anjing berbulu putih.

Pertama kali yang dijemput oleh Batara Ya-madipati (Dewa penjemput nyawa) adalah Dewi Drupadi, dinilai paling banyak dosanya diban -dingkan dengan kelima suaminya yakni Panda wa Lima. Pertama karena dihati kecilnya ia lebih mencintai Raden Harjuna dari pada dengan suami lain-lainnya. Kedua karena Dewi Drupadi bermulut tajam, kata-katanya sering melukai hati orang lain, diantaranya adalah Narpati Basukarna (Adipati Karna), Prabu Duryudhana, Resi Druna/ Drona, Dursasana dan Jayadrata, terluka hatinya karena ucapan-ucapan Dewi Drupadi.

Berikutnya giliran Sadewa yang dijemput oleh Batara Yamadipati, karena sering meremehkan atau memandang rendah orang lain termasuk kakak kakaknya meskipun hanya didalam hati saja dan tidak pernah diucapkan. Sadewa mempunyai ilmu / aji Pranawa Jati yang dapat mengetahui kejadian yang akan datang dan mengingat kejadian-kejadian masa lalu yang pernah dialami.

Setelah Sadewa giliran berikutnya kemudi-an adalah Nakula yang dijemput oleh Batara Ya-madipati, karena meskipun diam sebenarnya di-dalam hatinya Nakula selalu iri dan dengki kepada saudara-saudaranya terutama dengan Sadewa.

Giliran berikutnya setelah Nakula adalah Raden Harjuna yang dijemput oleh Batara Yama dipati, karena didalam hati kecilnya Raden Har-juna terlalu bangga dengan ketampanan yang dimilikinya dan merasa paling dibutuhkan atau pa-ling penting dibanding dengan saudara-saudaranya.

Bima giliran berikutnya dijemput oleh Bata ra Yamadipati, karena dinilai sering tidak dapat menahan nafsu amarahnya.

Yudistira tidak dijemput oleh Batara Yama-dipati dan tidak menemui ajalnya, ia berjalan sampai didepan pintu Syurga dan dijemput oleh Batara Indra, diajak untuk masuk syurga tetapi anjingnya dilarang masuk. Yudistira menolak masuk syurga jika anjingnya tidak diperbolehkan masuk syurga, karena Yudistira menganggap Dewa tidak menghargai suatu kesetiaan. Maka sebaiknya hamba tidak usah masuk kesyurga jika anjing yang menunjukkan kesetiaannya dilarang masuk syurga.

Atas ucapan Yudistira yang menghargai ke setiaan, seketika itu juga anjing putih yang selalu menyertai perjalanan Pandawa Lima dengan setianya sejak dari Istana Hastinapura sampai kepintu syurga, berubah wujudnya menjadi Batara Darma, jelmaan ayahnya Yudistira yang sebenarnya .

Kisah berakhir hidupnya para Putra Pandu, mengandung suatu petunjuk, bahwa Allah Maha Mengetahui segala-galanya, meskipun hanya didalam hati dan tidak pernah dikeluarkan atau dinyatakan kepada orang lain, Allah sudah mengetahui kebaikan atau kebathilan itu.

Jalan hidup dan pegangan hidup para Putra Pandu yang kemudian dikenal dengan Pandawa Lima, tidak dapat dilepaskan dari punakawan Semar dan anak-anaknya yang tidak lain dari jelmaan Dewa Ismaya yang selalu memberi petunjuk dan bimbingan serta nasehat kepada para Putra Pandu.

Nama-nama atau sebutan orang tua laki-laki selalu disertakan dalam memberi nama putra-putranya, seperti Pandawa Lima adalah keturunan Pan yaitu Pandu. Kurawa adalah keturunan Kuru, Drupadi adalah keturunan Drupada, Madrim adalah keturunan Raja Mandra dst.

Yudistira dalam pewayangan adalah simbul atau lambang sosok yang suci, tidak mempunyai dosa dan diibaratkan darahnya berwarna putih tanpa noda sediktpun.

Bima dalam pewayang adalah simbul kete-gasan dan keadilan serta kejujuran dalam menegakkan hukum, tidak pandang bulu, siapapun yang salah harus dihukum meskipun itu saudara maupun anaknya sendiri. Bima selalu menepati janjinya, bertubuh tinggi besar dan kokoh.

Raden Harjuna adalah lambang atau sim - bul sosok tampan dan rupawan tetapi donyuan, banyak anak banyak istri tetapi semuanya rukun.

Kisah-kisah pewayangan banyak mengan-dung ajaran-ajaran Falsafah yang bermakna spiri tual tinggi, kata-kata Adiluhung yang memben tuk budi luhur dan pekerti/perbuatan mulia Bangsa Indonesia.
a
m
a
z
a
K
n
i
v
e
K